Selamat membaca
Januari 2010
semoga bermanfaat

DONASI THIS BLOG

judul widget leftbar

Text

Labels

SPONSOR

Blogger news

Translation

translation services

DONATION FOR BLOG

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsitektur Islam, Seperti Apa?

Sewaktu membahas arsitektur Islam, kita pasti tidak bisa lepas dari membahas bangunan masjid. Dari arsitektur mesjidlah, pembahasan mengenai arsitektur Islam dimulai dan bermuara. Sebelumnya, kita sering mengidentikkan bangunan masjid dengan ciri khas kubah di bagian atasnya. Padahal bentuk kubah, begitu ditelusuri dalam sejarah arsitektur, berasal dari Romawi. Bukan dari wilayah dimana Islam berasal dan berkembang. Bahkan, bangunan ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam, dan menjadi titik pusat kota Mekkah, diperintahkan Allah kepada Nabi Ibrahiim, tanpa mensyaratkan bentuk apapun. Nabi Ibrahimpun membangunnya dengan interpretasi bentuk yang sederhana, kotak persegi.

Sekarang memang bentuk masjid berkembang dengan ragam bentuk yang bervariasi, tidak melulu mengandalkan bentuk kubah beserta lengkungannya yang khas. Masjid Salman ITB dengan bentuk kotak dan perseginya. Kemudian Masjid al-Markaz Makassar dengan bentuk atap khas Indonesia, segitiga, dengan hiasan geometris yang cukup beragam. Yang perlu dicatat, secara eksplisit dalam ajaran Islam tidak pernah mensyaratkan bentuk tertentu untuk diterapkan dalam bangunan fisik ummatnya. Islam hanya mensyaratkan dan memberi batasan mengenai prinsip-prinsip umum yang bersifat maknawi, seperti kesucian, kebersihan, dan keindahan. Bagaimana suatu bangunan itu menggambarkan kesucian, mewujudkan kebersihan, dan terlihat indah bagi yang melihatnya, kita diberikan kebebasan interpretasi dan aplikasi dalam penerapan di lapangan. (Tapi ada satu prinsip yang terasa kontradiktif dalam penerapannya di lapangan, yang akan di bahas nanti di akhir).

Sehubungan dengan bangunan masjid bergaya Timur Tengah yang sering dikait-kaitkan sebagai bangunan bergaya arsitektur Islam yang sesungguhnya, saya kurang setuju. Seperti halnya mengidentikkan Islam dengan Timur Tengah atau Arab. Islam memang lahir dan berkembang di Arab, tapi bukan berarti segala sesuatu yang berasal dan berbau Arab sudah pasti mewakili Islam. Bahkan Islam hadir di Arab, dengan salah satu agendanya adalah merevisi budaya-budaya menyimpang yang berkembang di wilayah Arab. Budaya itu dikenal dengan budaya jahiliah. Budaya Arab yang bersifat lokalis, hanya cocok untuk masyarakat Arab atau Timur Tengah. Ia tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan di wilayah lain di luar wilayah Arab, dengan mengatasnamakan Islam. Arsitektur adalah bagian dari budaya yang dipunyai oleh masing-masing masyarakat yang mempunyai ciri khasnya sendiri, sesuai dengan kekhasan wilayahnya. Kita tentu tahu, Indonesia mempunyai banyak ragam rumah tradisional yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan wilayah Indonesia yang cukup luas dengan ratusan suku yang hidup di dalamnya, dan mempunyai budaya masing-masing yang khas.

Dengan begitu, masjid yang dibangun di Arab ‘mestinya’ akan berbeda dengan masjid yang dibangun di Indonesia. Menyamakan semua bentuk masjid yang tersebar di seluruh wilayah dunia dengan bentuk masjid yang dibangun di Arab, bahkan mematenkan bentuknya, adalah sebuah bentuk pelanggaran budaya. Untuk mewujudkan arsitektur Islam, atau arsitektur bernuansa dan bernafaskan Islam, kita hanya harus mematuhi prinsip-prinsip umum yang digariskan di dalamnya. Apa prinsip-prinsip umum itu? Semuanya tertuang dalam al-Quran, landasan pokok ajaran Islam, ditunjang oleh sunnah-sunnah Nabi yang terangkum dalam hadits Rasulullah.

Prinsip-prinsip umum ajaran Islam mengenai sholat mesti diterapkan dalam bangunan masjid. Karena sesuai dengan namanya, masjid adalah tempat umat Islam bersujud, sholat mengahadap Allah Swt. Yang pertama mengenai qiblat, arah hadap sholat. Bangunan masjid mesti menyesuaikan dengan arah Qiblat. Kalau tidak bangunannya, ya susunan interior di dalamnya. Ada kalanya suatu bangunan yang sudah ada, yang sebelumnya berfungsi sebagai bangunan umum, dirubah fungsinya sebagai masjid, seperti contohnya masjid Cut Meutia, Jakarta. Dikarenakan arah bangunannya tidak sesuai dengan arah qiblat, maka interior bagian dalamnyalah yang menyesuaikan. Begitu masuk ke ruangan masjid, kita akan melihat deretan shof yang miring, yang sudutnya berbeda dengan persegi ruangan. Idealnya yang mengikuti arah qiblat adalah arah bangunannya, karena bila yang menyesuaikan arah qiblat adalah ruangan interiornya, maka daya tampung jamaah sholat tidak akan maksimal dikarenakan banyak ruangan shof yang terbuang (hasil sudut yang berbeda antara garis shof dengan persegi ruangan).

Yang kedua mengenai baris shof. Aturan mengenai baris shof ini akan menghasilkan modul baris shof. Dimensi baris shof adalah dimensi yang didapatkan dari kegiatan sholat, utamanya adalah ketika orang bersujud, yaitu sekitar 120 cm, dengan ukuran lebar orang sholat adalah 50-60 cm. Sebelum membangun masjid, mesti ditetapkan terlebih dahulu, berapa orang jamaah sholat yang akan ditampung, disesuaikan dengan luas lahan yang ada. Misal, ditetapkan jumlah jamaah yang akan ditampung sebanyak 400 orang, maka dari modul ukuran orang sholat akan didapatkan dimensi ruangan masjid 12 kali 20 meter, yang terdiri dari 10 baris shof. Tiap baris shof terdiri dari 20 orang jamaah. Ini baru hitungan kasar. Dalam pelaksanaannya, harus diperhitungkan pula tiang bangunan masjid yang berada di dalam ruangan masjid, yang jumlahnya akan mengurangi daya tampung jamaah. Lebar tiang utama umumnya berkisar antara 30 sampai 40 cm. Satu tiang akan mengurangi jumlah satu orang jamaah sholat. Idealnya, ruangan sholat bersih dari adanya tiang-tiang struktur, sehingga jumlah jamaah sholat bisa maksimal, dan tidak ada bagian yang satu jamaah terpisah dengan jamaah lain dengan adanya tiang. Teknologi struktur mutakhir memungkinkan suatu bangunan dengan bentangan luas dapat terbangun, tanpa adanya tiang-tiang struktur di tengah-tengahnya. Seperti struktur baja bentang lebar (pre stressed), maupun struktur space frame. Bangunan masjid masa kini, bisa memanfaatkan teknologi tersebut.


Sumber : http://muhipro.wordpress.com/

ARSITEKTUR JENGKI

Sampai saat Majalah Arsindo ini sampai ditangan pembacanya. Berapa
banyak langgam Arsitektur yang telah hadir dihadapan kita? Pasti
susah untuk menghitungnya. Tetapi kalau kepada setiap arsitek
Indonesia ditanya mengenai langgam-langgam tadi, dengan lancar
mereka akan menjelaskannya. Terutama langgam mancanegara. Misalnya,
Post Medern, Modern, Art Deco dan lain sebagainya. Tapi jika
mereka ditanya apakah mereka tahu bahwa khasanah arsitektur
Indonesia pernah punya langgam yang mencerminkan semangat
kemerdekaan. Rasanya tidak banyak yang tahu. Melalui hasil wawancara
dengan Ir. Joseph Priyotomo. M.Arch mengenai arsitektur Jengki
ini diharapkan akan menambah wawasan para arsitek Indonesia
mengenai langgam arsitekturnya sendiri.

Kelahiran Arsitektur Jengki

Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan sekitar tahun 1950-1960-an.
Sebagai hasil dari kemerdekaan. Timbul semangat pembebasan diri dari
segala hal yang berbau kolonialisme. "Dilain sisi, kemerdekaan
itu terjadi pada saat kita tidak memiliki tenaga ahli asing",
jelas Ir. Joseph. Tenaga ahli asing yang ada sebagian besar orang
Belanda. Karena adanya pertikaian antara Indonesia dengan Belanda
mengenai Irian Jaya, mereka harus meninggalkan Indonesia.
Pembangunan tidak boleh berhenti. "Sementara itu timbul keinginan
kuat untuk menampilkan jati diri bangsa yang merdeka", tutur arsitek
yang akrbat dipanggil pak Joseph ini. Dalam keadaan yang serba
sulit ini, pemerintah Indonesia memanfaatkan siapa saja yang
mampu bekerja dibidang konstruksi. Kebetulan kemampuan bekerja
ini dimiliki oleh mereka yang pernah bekerja di perusahaan
konstruksi pada masa pendudukan. Misalnya kantor Pekerjaan Umum,
Biro Arsitek atau Kontraktor Belanda. Kebanyak dari mereka hanya
lulusan STM. Sebab lembaga pendidikan yang dimiliki untuk mendidik
ahli bangunan pada masa itu hanya sampai tingkat STM. Mereka
inilah yang dipaksa melakukan pembangunan. Karena hanya lulusan
STM, tentu saja ilmu arsitektur mereka tidak seperti yang sarjana.
Tetapi keuntungan yang mereka peroleh pada masa itu, STM pada masa
itu juga diajarkan dasar-dasar ilmu arsitektur. "Inilah yang
menjadi pegangan para lulusan STM pada masa itu" tambah pak Joseph.

Para tenaga ahli dadakan ini punya kesempatan untuk menunjukkan
skil ke Indonesia-annya. Namun didalam hati, mereka juga
mempertanyakan ilmu arsitektur yang dimiliki. Usaha mempertanyakan
ini tidak sempat mereka renungkan. Tetapi harus segera ditunjukkan
dengan jawabannya. Karena mereka harus langsung bekerja. Pada
waktu itu, semangat nasionalisme yang kuat sedang tumbuh disetiap
hati rakyat Indonesia, termasuk para ahli dadakan ini. Dengan
landasan nasionalisme yang kuat, timbul usaha untuk tidak
membuat apa yang telah dibuat Belanda. Dengan kata lain tidak
boleh seperti itu. "Nah, itulah yang mendasari lahirnya Arsitektur
Jengki" kata pak Joseph.

Ciri-ciri Arsitektur Jengki
Langgam arsitektur Kolonial pada waktu itu banyak didominasi
oleh bidang-bidang vertikal dan horisontal. Langgam Arsitektur
Jengki justru berlawanan. Arsitektur Jengki bermain dengan garis
lengkung dan lingkaran. Misalnya, jendela yang tidak simetris,
overstek yang meliuk-liuk, garis dinding yang dimiringkan.
Bentuk-bentuk yang tidak semestinya pada masa itu. "Arsitektur
Jengki hanya mengolah perwajahan bangunan, baik itu luar maupun
dalam", jelas pak Joseph lagi. Selain wajah bangunan, juga
perabot rumah. Misalnya meja tamu dan kursinya. Bentuk tata
ruangnya masih mengikuti tata ruang bangunan Kolonial. Hal ini
terjadi karena keterbatasan ilmu arsitektur tadi.

Arsitektur Jengki juga mempergunakan bahan-bahan bangunan asli
Indonesia. Bahan yang dipergunakan harus bahan jadi, tidak
boleh mentah maksudnya dari perancangannya ketika itu. Untuk
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu mengolah sendiri
bahan bangunan yang diperlukan. Hasilnya adalah permukaan
bangunan yang dikasarkan, misalnya. Dikasarkan bukan kerikil,
karena kerikil yang diolah semacam itu buatan Belanda.
Permukaan kasar dibuat dari semen yang disemprotkan ke dinding
dan pemakaian roster. Pada bagian penutup atap juga diolah
sedemikian rupa. Kalau pada waktu itu bangunan Jengki dibuat
seperti jambul. "Sepertinya sengaja menghilangkan yang berbau
Belanda. Sehingga saya dapat mengambil kesimpulan bahwa
Arsitektur Jengki murni hasil pemikiran bangsa Indonesia.
Saya juga mencoba melihat literatur luar negeri kalau mungkin
ada satu langgam yang dipakai untuk Arsitektur Jengki. Ternyata
tidak ada", tambahnya. Melihat hal ini pak Joseph mengambil
kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki adalah murni karya bangsa
Indonesia. Tidak berkiblat kepada aliran arsitektur manapun
di dunia termasuk juga Arsitektur Nusantara (kata Indonesia
ada setelah 17 Agustus 1945).

Semangat dekoratif yang dimiliki oleh para arsitek pada saat
itu cukup kuat dan bagus. Unsur dekoratif inilah yang oleh
pak Joseph dianggap mewakili arsitektur Nusantara. Kalau kita
perhatikan, pada setiap arsitektur tersebut? Dekoratifnya.
Jadi Arsitektur Jengki menghadirkan Arsitektur Nusantara lewat
unsur ini. Bukan lewat bentuk. "Semangat Bhineka Tunggal Ika
hadir melalui arsitektur Jengki. Oleh sebab itu saya dapat
mengatakan bahwa Arsitektur Jengki adalah arsitektur Indonesia
yang pertama", tegas arsitek alumni ITS tahun 1976 ini.

Contoh bangunan dengan arsitektur Jengki ini dapat kita lihat
pada rumah-rumah dikawasan Kebayoran Baru untuk Jakarta. Di
Surabaya misalnya Stadion Gelora Pancasila, Pabrik Coklad di
Jl. Kalisari dan rumah tinggal di Jl. Embong Ploso 12 (saat
tulisan ini dibuat sudah dirobohkan). Biasanya unsur Jengki
lebih banyak hadir pada bangunan rumah tinggal. Mengenai hal
ini pak Joseph menambahkan, "tidak adanya dana untuk membangun
menyebabkan lebih banyak rumah tinggal". Hal ini juga diakui
oleh Van Lier Dame ketika berjumpa dengan beliau. Van Lier Dame
pada sekitar tahun 1950 bekerja di Indonesia sebagai arsitek.
Dia mengakui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh Indonesia
ketika itu adalah kelangkaan bahan dan kemiskinan uang.
Sehingga merekapun dituntut bekerja secara efisien.

Mengapa Disebut Jengki?
Ada beberapa pendapat mengapa langgam ini disebut Jengki.
Misalnya dari kata Yangkee, sebutan untuk tentara Amerika dalam
arti yang negatif. Namun arsitek Malang 48 tahun silam ini
mengambil dari sebuah metode pakaian pada waktu itu, seperti
misalnya celana Jengki, baju jengki, mode yang sedang trend
sekitar tahun 50-an.

Saat ini di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya
banyak sekali hadir bangunan dengan langgam yang mirip
dengan Jengki. Menjawab pertanyaan ini, Pak Joseph menjelaskan
bahwa tidak bisa disamakan. Mengapa? karena arsitektur Jengki
ketika itu merupakan pembongkaran terhadap arsitektur Belanda.
Kalaupun ingin disebut sebagai dekonstruksi, maka yang kita
lihat sekarang ini adalah dekonstruksi babak II. Langgam yang
hadir melalui tangan-tangan arsitek muda ini oleh pak Joseph
dikatakan beraliran Lead Modern. Arsitektur Jengki hadir
pada masa itu karena semangat ingin bebas dari pengaruh
kolonial, sedang bentuk-bentuk yang hadir sekarang ini tentu
hadir dengan semangatnya sendiri.

Arsitektur Jengki pernah hadir menambahkan khasanah arsitektur
Indonesia. Lahir oleh karena keadaan yang memaksa. Kalau sampai
saat ini kita masih disibukkan dengan mencari bentuk arsitektur
Indonesia (yang ke-2?) dan belum menemukannya, mungkinkah
karena semangat, tujuan dan keadaan yang mendasarinya berbeda?
Jawabannya terletak pada jati diri kita masing-masing yang
sekarang ini mengaku dirinya sebagai Arsitek Indonesia.

Arsitektur Indonesia
Majalah Komunikasi Arsitek Indonesia

Sumber : http://adhisthana.tripod.com

Mencari gaya arsitektur Indonesia

Topik: Suplemen Perumahan Halaman Depan
Tanggal: 01 Oktober 1996

JAKARTA (Bisnis): Arsitek kondang asal Prancis, Le Corbusier,
meramalkan suatu saat hanya ada satu arsitektur untuk semua
tempat.

Ramalan itu mungkin ada benarnya. Sekarang saja dapat dicermati,
berbagai bangunan tinggi di sepanjang jalan protokol kota
menyiratkan hal itu. Gedung-gedung berbentuk kotakkotak yang
mirip satu sama lain.

Keseragaman tersebut di mata arsitek asal Jepang Kisho Kurokawa
terjadi akibat perkembangan teknologi dalam era modernisasi yang
berawal dari revolusi industri.

Berlakunya era modernisasi memaksa manusia-terlebih pengusaha-
cenderung berbicara pada satu sudut pandang, efisiensi. Gedung
tinggi berbentuk kotak-kotak sederhana lah contohnya.

Pengusaha, demi efisiensi dan mendapatkan ruang sebanyak
mungkin, tidak perlu repot memikirkan hal-hal yang berhubungan
dengan penerapan budaya pada arsitektur.

Dalam benak pemilik modal atau pengembang properti, sudut
pandang efisiensi itu juga menjadi perhatian para calon pembeli atau
penyewa bangunan mereka. Singkatnya, efisiesi adalah tuntutan
pasar.

Simak saja pemikiran Ciputra, taipan properti Indonesia. "Kami
hanya mengikuti selera pasar. Karena pasar lebih menyukai
arsitektur bergaya barat, kami mengembangkan arsitektur barat,"
katanya.

Sebagai pengembang, tentu Ciputra wajar berpendapat demikian.
Berkaca dari pandangan sesepuh dunia properti Indonesia, mungkin
sulit mengharapkan arsitektur lokal dapat berbicara dalam konteks
perancangan bangunan.

Maka tidak mengherankan bila ada desain gedung tinggi di sini yang
menjiplak mentah-mentah bangunan di luar negeri.

Perumahan tidak jauh berbeda. Boleh dibilang hampir seluruh
permukiman yang ada menawarkan rumah bermodel asing seperti
mediteranian, kalifornian atau art deco.

Suara berbeda muncul dari Adhi Moersid, pakar arsitektur.
"Arsitektur lokal bisa sangat ekonomis. Tinggal bagaimana kita
memilih,...mana yang dapat diambil dari arsitektur lokal."

Pendapat Adhi tersebut menyiratkan bahwa arsitektur lokal-yang
berkaitan dengan budaya-masih dapat bermain dalam era modern
maupun pasar bebas.

Adhi tampaknya sejalan dengan Kisho. Menurut arsitek Jepang itu,
abad ke-21 akan ditandai dengan kemunculan age of life.

Pada zaman era mesin, gaya internasional menjadi prototip
arsitektur modern yang tercipta dari produk standar hasil industri.
Produk tersebut diterima oleh sektor bisnis yang memproduksi
properti dan masyarakat kelas menengah sebagai pengguna.

"Model, norma, dan ide abad mesin didukung oleh universalitas yang
diwakili oleh semangat peradaban barat," katanya.

Simbiosis merupakan kata kunci dari Age of life yang diramalkan
Kisho. Era itu akan memadukan beberapa hal a.l. keberagaman
budaya, kemajemukan nilai, sejarah dan kepentingan pada masa
mendatang.

Arsitektur kota

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kondisi yang tentu
saja berbeda dengan negara maju. Keunikan kondisi di Indonesia,
antara lain, adalah arus urbanisasi yang amat deras sehingga
menumbuhkan arsitektur kota yang khas.

Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar mengambil contoh
ibukota Jakarta. "15 tahun mendatang Jakarta akan menerima
penambahan 5 juta penduduk," katanya.

Bisa dibayangkan, Singapura saja berpenduduk 2,8 juta, dengan 1,8
juta di antaranya berstatus warga negara. Jadi, Jakarta akan dibanjiri
para pendatang hampir dua kali jumlah penduduk Singapura.

Dengan penduduk yang jauh lebih sedikit itu, Singapura terpaksa
mengubah sejumlah bangunan bernilai historis di menjadi pusat
perbelanjaan dan perkantoran terutama yang berlokasi dekat pusat
kota.

Tidak berlebihan apabila Radinal memandang bahwa perlu ada
kesiapan dini untuk mengantisipasi ledakan jumlah penduduk akibat
urbanisasi.

"Jangan sampai kita terlambat mengantisipasi ini. Kita harus
mencoba mengatur agar arsitektur kota kita tidak kehilangan
kepribadiannya," kata menteri yang juga arsitek tamatan ITB
tersebut.

Karena masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan di Indonesia
begitu berbeda dengan kondisi di negara Barat, ujar Radinal, tidak
mungkin arsitektur kotanya mencontek atau berkiblat ke sana.

Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Mohammad
Danisworo memperkuat pernyataan Radinal.

"Masyarakat kita masih kuat ditandai dengan dualisme kehidupan
sosial, antara masyarakat agraris yang berurbanisasi dan
masyarakat industri," ujar guru besar ITB tersebut.

Karena itu, kata Danisworo, arsitektur pun harus mewadahi sekaligus
dualisme kehidupan itu dalam suatu interaksi sosial yang nyaman.
Hal ini memang menjadi agak rumit bila diterapkan pada properti
gedung.

Danisworo mencontohkan dengan rancangan di gedung tinggi. Di
bangunan jangkung, menurut dia, arsitek dapat merancang interaksi
sosial masyarakat pada ruang-ruang umum yang ditempatkan di
bagian podium [lantai-lantai bawah].

Namun, katanya, bagian podium tersebut diharapkan mememiliki
keterkaitan dengan bangunan lainnya agar interaksi para pengguna
bangunan dapat berjalan maksimal.

Sedangkan di tubuh bangunan sendiri, ujar Danisworo, arsitek atau
pengembang bisa lebih mengedepankan aspek teknologi dan
efisiensi bangunan.

Pasalnya, gedung tinggi harus mempertimbangkan banyak faktor
seperti pengorganisasian struktur, mekanikal, elektrikal, utilitas dan
gempa.

Namun pada puncak bangunan, arsitek dapat membubuhkan
rancangan yang diinspirasi arsitektur lokal. "Duplikasi bangunan
tidak akan terjadi kalau mau mempertimbangkan kekhasan unsur
arsitektur lokal," ungkap Danisworo.

Pusat kekuasaan

Melihat sejarahnya, karya arsitektur di manapun berada tampaknya
lekat dengan pusat kekuasaan dan kekuatan yang ada dalam satu
komunitas manusia.

Lukman Purnomosidi, manajer divisi Realty dan Properti PT Wijaya
Karya, menjelaskan bahwa inspirator karya arsitektur terkemuka di
dunia termasuk Indonesia pada zaman dahulu biasanya adalah
pertama pusat kekuasaan, raja misalnya.

"Raja membangun istana maka jadilah arsitektur keraton Jawa atau
istana Romawi," ujarnya.

Kelompok kedua adalah kekuatan keagamaan-dalam hal ini diwakili
oleh para pemuka agama. "Misalnya Borobudur yang menjadi pusat
keagamaan Budha." Ketiga, bisa juga yang terkait dengan kegiatan
olah raga.

Sekarang zaman berubah. Menurut Lukman, yang memberikan
corak pada suatu karya arsitektur tidak saja pusat kekuasaan atau
pusat keagamaan tetapi juga dunia usaha.

Itu terlihat dengan maraknya bangunan komersial seperti
perkantoran, hotel, hunian, pusat perbelanjaan dan kawasan rekreasi
di setiap kota di dunia.

"Jadi penggagasnya bertambah lagi. Yang memegang peranan
adalah pengembang dengan perencananya sendiri," ujarnya.

Tampaknya pada masa mendatang keinginan pengembang menjadi
kekuatan tersendiri yang akan mengatur jalannya sejarah arsitektur
di dunia, sebagai konsekuensi peran mereka yang amat dominan
sekarang ini.

Meski itu menjadi kencederungan, Lukman mengingatkan bahwa
pelaku dunia usaha-dalam hal ini adalah pengembang-seharusnya
tidak hanya berpikir pada satu dimensi [usaha] tetapi juga
mempertimbangkan dimensi yang lebih luas,

Menurut Lukman, ada beberapa hal yang perlu menjadi
pertimbangan antara lain adalah nilai-nilai [budaya] yang sudah ada,
teknologi yang lebih mengarahkan kepada efisiensi, penggunaan
material lokal, dan penggunaan arsitek lokal.

Ini menjadi perlu karena, menurut dia, "adalah karya yang
mereprenstasikan siapa dan jati diri pengembang."

Namun, Lukman tidak larut dalam romantisme kebangsaan belaka.
Dalam persaingan antarproyek properti, menurut dia, kekhasan
arsitektur Indonesia dapat menjadi selling point.

Sejarah membuktikan, hanya bangunan yang memiliki makna yang
mampu bertahan lama. Bangunan tanpa makna segera tergusur
masa, berganti rupa atau segera tak ada. Dan arsiteklah yang
berperan memberi makna pada bangunan.

Itu artinya, baik arsitek maupun arsitektur lokal masih punya 'gigi'
untuk berhadapan dengan para pengembang yang
mengatasnamakan tuntutan pasar.

Sumber : http://adhisthana.tripod.com/

SEJARAH, TEORI, DAN KRITIK ARSITEKTUR

Sejarah, Teori dan Kritik dalam ilmu arsitektur merupakan aspek-aspek yang tidak dapat dipisahkan dan ketiga hal tersebut memiliki keterkaitan dan saling terkait. Proses ber-arsitektur secara terus menerus akan melahirkan teori arsitektur, sedangkan kritik arsitektur merupakan buah dari teori arsitektur.
Sebuah siklus yang berlaku secara universal

1. Sejarah Dalam Arsitektur
Pembelajaran tentang sejarah dalam arsitektur akan terkait dengan deskripsi dan interpretasi kajian akan keberhasilan dari produk arsitektur. Kesalahan dan kekurangan masa lampau menjadi pelajaran yang terbaik saat ini agar dapat menghasilkan karya arsitektur yang bermanfaat dan berguna.
Monumen-monumen bangunan bersejarah hasil karya nenek moyang yang sudah berdiri pada masa lampau sampai sekaang tetap terkenang namanya bahakan masih dapat dijadikan konsumsi secara visual dan edukasi dapat dijadikan suatu kebanggaan sebagai pelajaran bahwa pada jaman dahulu orang sudah dapat membuat bangunan yang indah dan megah.
Arsitektur dipandang sebagai bangunan atau teknik membuat bangunan dimana melalui proses yang terdiri dari : Perencanaan (ide atau gagasan), Perancangan (desain) dan pelaksanaan pembangunan. Arsitektur juga dipandang sebagai ruang atau pemenuhan kebutuhan akan ruang oleh manusia untuk melakukan segala aktivitas tertentu. Arsitektur dipandang sebagai sejarah, dimana arsitektur merupakan ungkapan fisik dan peninggalan budaya suatu mayarakat, dalam batasan tempat dan waktu. Keberadaan arsitektur sendiri seumur dengan peradaban manusia di muka bumi ini.
Sejarah dan arsitektur mencakup dimensi ruang dan waktu yang tidak dapat ditentukan batasannya. Oleh karenanya kajian terhadap sejarah arsitektur dilakukan berdasarkan kronologis menurut ruang, dimensi dan waktu. Pengkajian ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : primitif tradisional, klasik dan modern. Pembagian ini masih bersifat global sehingga tiap-tiap periode masih harus dikelompokkan lagi secara terperinci.

2. Teori Dalam Arsitektur
Teori dalam arsitektur merupakan deskripsi dari beberapa pertanyaan-pertanyaan, yaitu :

* Apakah arsitektur itu?
* Apa yang harus dicapai dengan arsitektur?
* Bagaimana cara merancang/mendesain?
* Apa produk dari arsitektur?
* Bagaimana seorang arsitek menemukan ide?
* Dsb.

Tujuan untuk mempelajari teori arsitektur adalah:

* Membantu mengenal dan mempelajari karya arsitektur;
* Membantu arsitek dalam proses merancang;
* Memberi arah dalam proses desain namun tidak dapat menjamin hasil karya yang sempurna;
* Merupakan dugaan, harapan, hipotesis yang dapat diidentifikasikan namjn sering tidak ilmiah.

Menurut Vitruvius, tujuan arsitektur tergantung pada susunan penataan, keselarasan dalam pergerakan, simetri, kesesuaian dan ekonomi. Arsitektur ditentukan oleh fungsi/kenyamanan, struktur/ketahanan, dan estetika/keindahan. Menurut Bruno Zevi, teori arsitektur meliputi cara mengidentifikasikan variabel-variabel penting, ruang, struktur dan proses-proses aktifitas kehidupan masyarakat.
Ruang merupakan unsur pokok, memahami ruang berarti mengetahui bagaimana cara melihat (elemen-elemen arsitektur) dan merupakan kunci untuk mengenal dan memahami arsitektur bangunan. Cara memandang, mengenal, dan memahami arsitektur antara lain dengan analogi :

* Arsitektur dianggap sesuatu yang organik
* Arsitektur merupakan suatu bahasa
* Arsitektur dianggap seperti mesin


3. Kritik Dalam Arsitektur
Kritik merupakan rekaman dari tanggapan terhadap lingkungan buatan (built environment). Kritik meliputi semua tanggapan termasuk tanggapan negatif dan pada hakekatnya kritik bermaksud menyaring dan melakukan pemisahan. Ciri pokok kritik adalah pembedaan dan bukan penilaian (misalnya : reaksi penduduk terhadap rancangan pemukiman dilakukan dengan metode penyampaian tanggapan).
Metode kritik arsitektur terdiri dari :

* Kritik Normatif; kritik ini berdasarkan pada pedoman baku normatif.
* Kritik Penafsiran; kritik ini merupakan penafsiran dan bersifat pribadi.
* Kritik Deskriptif; bersifat tidak menilai, tidak menafsirkan, semata-mata membantu orang melihat apa yang sesungguhnya ada, menjelaskan proses terjadinya perancangan bangunan.

Sumber : http://kuliaharsitektur.blogspot.com/

Ruang Keluarga Modern dan Maskulin




RUANG keluarga dilengkapi dengan sofa L enam dudukan. Warnanya cokelat tua. Dipilih untuk memunculkan kesan hangat dan nyaman. Warna sofa ini dibuat senada dengan warna coffe table.

Biasanya gaya maskulin, tidak menggunakan banyak bantal pada sofa. Namun, agar ruangan tidak berkesan monoton, ditambahkanlah bantal pada sofa. Permainan berbagai motif, seperti motif garis dan sisik ikan, tampil pada penataan bantal. Pilihan warna dan motif bantal juga dibuat selaras dengan warna furnitur.

Pada sudut ini, warna ruangan dibuat bergradasi dari warna terang ke gelap. Putih pada dinding, cokelat pada furnitur, dan hitam pada beberapa bantal. Setiap benda yang ada dalam ruangan, mewakili warna-warna dalam deretan gradasi. Sehingga tampilannya tetap rapi, walaupun ada beberapa motif yang sengaja "ditabrakkan".

Sebagai aksen ruangan, ada beberapa lukisan kain. Lukisan tersebut sebenarnya terbuat dari kain-kain bahan upholstery (penutup sofa). Ide kreatif ini bisa menjadi alternatif. Terutama jika Anda kesulitan mendapatkan hiasan dinding yang pas dengan ruangan. Lukisan kain ini juga bisa disesuaikan dengan warna dan motif furnitur.

Penulis: Anissa
Foto: Rai
Lokasi dan properti: Savana Furniture, Kemang Raya, Jakarta Selatan

Sumber : http://2u-sweethome.blogspot.com/

Popular Posts

TRAFFICT

Judul widget rightbar

Label

Tag Cloud Comulus Labels

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Template Oleh trikmudahseo